Raden Saleh, Pelukis Para Penguasa (Part II)

Diantara semua karya besarnya, lukisan perburuan banteng mungkin menjadi lukisan yang paling heboh pemberitaannya karena baru tahun lalu lukisan ini berhasil dilelang dengan harga 7,2 milliar Euro menjadikannya sebagai lukisan karya seniman nusantara yang termahal dalam sejarah. Raden Saleh merupakan sosok yang ada dibalik lukisan-lukisan bersejarah yang sangat terkenal seperti Herman Williem Daendles. Karya-karya tersebut merupakan potret diri yang menggambarkan tokoh-tokoh terkemuka yang seringkali merupakan pesanan dari pemerintah kolonial.

Sekalipun demikian lukisan tentang potret diri kurang disukainya karena ia tidak dapat bebas berekspresi dalam lukisanya dan harus mengikuti suatu model yang membatasi kreatifitasnya. Hal ini jauh berbeda dengan karya-karyanya yang menggambarkan tentang suatu pertarungan atau perburuan dimana ia bebas berekspresi. Karya seperti itu seringkali menjadi lukisan yang fenomenal, hal ini dibuktikan pada tahun 1840 di pameran tahunan yang diadakan di kota Dresden. Lukisan perburuan singa mendapat respons yang sangat positif dari masyarakat Eropa.

Perlawanan Kultural dari Raden Saleh Terhadap Kolonial Belanda

Karya terkenal lainnya adalah lukisan yang berjudul penangkapan Pangeran Diponegoro, judul yang sebenarnya dari lukisan itu adalah lukisan bersejarah penangkapan pemimpin Jawa Diponegoro. Lukisan itu diberikan oleh Raden Saleh kepada pemimpin Belanda William III, tahun 1975 lukisan tersebut diserahkan kembali secara resmi kepada Indonesia oleh pihak Belanda bersamaan dengan perjanjian kebudayaan antara Indonesia dan Belanda yang diselenggarakan pada 1969.

Dalam karyanya ini Penangkapan Pangeran Diponegoro, Raden Saleh menggambarkan peristiwa itu dengan sarkastik. Raden Saleh menggambarkan sosok Diponegoro sebagai orang yang masih memiliki wibawa dan harga diri dimana raut mukanya tidak terlihat pasrah pada penangkapan tersebut. Bahkan raut muka Diponegoro digambarkan seakan marah dan menantang jendral de Cock. Raut muka dari jendral De Cock digambarkan dengan ekspresi yang datar dan tidak melihat tatapan dari Diponegoro, begitu juga dengan bahasa tubuhnya yang tidak menunjukkan bahwa ia sedang berkuasa.

Posisi berdiri dari kedua tokoh tersebut juga dibuat sejajar, yang menarik jika diperhatikan dengan saksama adalah Diponegoro berdiri di sebelah kanan dan De Cock di sebelah kiri dimana dalam konteks tradisi Jawa, sebelah kanan digolongkan sebagai pria dan sebelah kiri digolongkan sebagai wanita. Ia juga menggambarkan bagian kepala dari pasukan KNIL dengan gambar yang terlalu besar sehingga mengingatkan akan kepala-kepala dari para makhluk gaib Jawa.

Lukisan penangkapan pangeran Diponegoro menunjukkan sebuah perlawanan Raden Saleh kepada kerajaan Belanda. Raden Salah memberikan lukisan tersebut kepada raja Belanda untuk menunjukkan fakta yang sesungguhnya mengenai peristiwa tersebut. Keberanian Raden Saleh dalam menggambarkan fakta melalui sebuah karya seni menunjukkan perjuangannya melawan penjajah Belanda melalui perlawanan kultural. Perlawanan ini mungkin memang tidak seekstrim bagaimana sang pembunuh Jing Ke dengan kecerdikannya berusaha membunuh pemimpin negara demi mengakhiri ambisinya untuk menyerang negara-negara tetangganya yang lebih lemah.

Bagaimana Jing Ke berusaha membunuh sang raja Qing?, ia menggunakan belati tersembunyi dalam gulungan lukisan peta negara, kejadian ini dikemudian hari dikenal dalam sejarah Tiongkok dengan istilah lukisan terbuka lihatlah belatinya. Sekalipun demikian perlawanan Raden Saleh tetap menunjukkan kepada kita bahwa setiap individu sebenarnya mampu memperjuangkan suatu ide atau gagasan dengan cara kita masing-masing, hal inilah yang disebut dengan perlawanan atau perjuangan kultural.

Perlawanan kultural umumnya dilakukan oleh kaun terdidik, perlawanan seperti ini juga dilakukan dalam bidang sastra seperti Max Havelaar atau Douwes Dekker dalam novel multatuli, Abraham Kuyper dalam karyanya Ons Program dan Van Deventer dalam hutang kehormatan yang dikemudian hari turut membuka jalan bagi terciptanya kebijakan politik etis.

Tahun 1901, pemerintah belanda memutuskan mengambil kebijakan politik etis untuk diterapkan di Hindia Belanda. Kebijakan ini turut merangsang berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang akan kita kenang sebagai hari kebangkitan nasional. Perjuangan masih terus berlanjut pada tanggal 13 July 1913, Ki Hajar Dewantara menuliskan karyanya, Andai Aku Seorang Belanda, sebagai bentuk protes pada pemerintah Belanda yang meminta kepada masyarakat sumbangan perayaan kemerdekaan Belanda pada Prancis di wilayah jajahannya sendiri. Kita juga bisa melihat perjuangan serupa dilakukan oleh Wage Rudolf atau WR Supratman dalam lagunya yang berjudul Indonesia Raya yang menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Hal ini menunjukkan signifikansi perlawanan kultural dari Raden Saleh terhadap pemerintah kolonial